TIME FLIES

Showing posts with label Short Stories. Show all posts
Showing posts with label Short Stories. Show all posts

Thursday, September 2, 2010

No Title Yet

Another story. It has not finished yet, but I'm working on it.
Please enjoy :)

***


C’est parfait, ma cherié. That’s perfect’
 Chairuni Sabrina—Rui yang sedang menatap bayangannya di kaca full body menoleh mendengar suara lembut sedikit serak, menemukan sosok wanita early 40’s bersandar pada bingkai pintu kamarnya. ‘Mommy!’
Tisya Rasityo tersenyum, menghampiri anaknya, lalu mencium kening Rui. ‘Comment êtes-vous—apa kabar putri cantik mommy?’
Rui tersenyum, mengenggelamkan kepalanya lebih dalam ke pelukan lengan ibunya. Mommy wangi jeruk, parfum Chanel No. 5, juga sedikit champagne. ‘Kapan Mommy sampai? Kok nggak kasih tahu Rui kalau mau pulang?’
Tisya menyentuh hidung Rui pelan. ‘Mommy tidak pulang, cherié, hanya berkunjung. You know Mukas and me are divorced. Dimana Cira?’
Rui mendesah. Mukas—ayahnya, dan ibunya telah bercerai sejak lima tahun lalu. Mukas lebih memilih untuk tetap menjadi duda, Rui dan Cira, adiknya, tinggal di Jakarta bersamanya. Sedangkan Tisya telah beberapa kali kawin-cerai dan pindah ke Paris, menjadi editor majalah Lé Femmé-Chic, majalah fashion ternama yang telah berkali-kali menggelar fashion show sukses. ‘In her room, I think’
Tisya melepaskan pelukannya, mengambil sesuatu dari tas Kelly Hermés-nya. ‘Mendesain pakaian lagi? Fashion memang telah mendarah daging padamu dan Cira. Kenapa kamu tidak magang di majalah saja, jadi fashion stylist? Mommy dengar Poseur memiliki kualitas yang baik, dan akan lebih baik lagi kalau ada kamu di dalamnya, cherié. Selera Rui kan bagus sekali’
Rui tersenyum lebar, Mommy-nya memang bisa banget naikin moodnya kembali. Ia berjalan kearah cermin, mematut dress simple cut Alexander Wang yang dikenakannya. ‘Rui tanya ayah dulu, kan Mommy tau kalau ayah tidak suka Rui magang-magang seperti itu’
Tisya menghembuskan asap cigarette dari bibirnya, mendengus. ‘Itu salah satu alasan kenapa Mommy meminta cerai dari Mukas, cherié, your father is an overprotective man’
Rui merengut nggak suka. ‘He’s doing that for my own good. And by the way, Mommy, why do you still smoke? Mommy tau sendiri cigars nggak baik untuk tubuh, especially on your early 40’s’
Tisya tertawa. ‘Kamu membuat Mommy merasa tua, Chairuni. Sometimes we need something to get out from our hectic life, and I choose cigars. Où allez-vous? Rui mau pergi kemana? Pakai baju bagus seperti itu lagi’
Rui memalingkan wajahnya, pura-pura sibuk merapikan sedikit kerut di lengan dress-nya, padahal menyembunyikan pipinya yang bersemu pink. ‘Nggak kemana-mana’
Alis Tisya terangkat sedikit melihat tingah Rui yang tidak biasa, lalu terkekeh kecil, mengerti. ‘Kamu mau pergi nge-date, ya? Mommy benar-benar merasa tua sekarang, habis ma cherié udah tumbuh besar, menjadi gadis yang cantik sekali. Mommy ingat dulu Rui sering duduk di pangkuan Mommy. Mommy takut sebentar lagi Rui akan meninggalkan Mommy sendiri’
Rui tersentak, melotot menatap mata ibunya. ‘Mom! Pourquoi avez-vous dit cela? Why did you say that? Rui nggak akan pernah ninggalin Mommy, you know that. Dan walaupun Rui terpaksa, Mommy selalu punya Cira. Kita berdua akan selalu ada untuk Mommy. Nous avons tous deux vous aime tant—we both love you so much’
Tisya memalingkan wajahnya, tangannya dengan cepat menghapus jejak air mata yang hampir mengalir di pelupuk. ‘Well, well, of course I know that. Je bous remercie, ma cher. Thank you. And who’s the lucky guy yang akan menjadi date-mu?’
Rui memiringkan kepalanya sedikit, mengamati bagian samping dress-nya. ‘There’s something wrong with this look, don’t you think? Rui tidak tau siapa, it’s a blind date’
Rui mengenakan mini dress simple cut Missoni, shorts jeans Levi’s, sneakers putih-baby yellow-pink NIKE, dan oversized bag Gucci. Tisya tersenyum, menarik scarf Hermés yang melingkar di tas Kelly miliknya, lalu membuat pita dari scarf tersebut di leher Rui. ‘Now it looks simple, androgyny but cute. Et je n’entendis pas? Did I hear wrong? Blind date? I thought my daughter could get any boys she wants’
Rui memutar bola matanya. ‘Kan hanya untuk senang-senang, Mommy, don’t get it to serious. Lagipula cowok pilihan Alka Wiraga nggak mungkin salah’
Tisya mengangkat alisnya. ‘Wiraga? Like Farel Wiraga?’
‘Iya, Om Farel itu pamannya Alka, ayahnya Citra Falisha. Rui sama Citra Falisha satu tempat kursus piano dulu. And how did you know Farel Wiraga? Rui kira Mommy tidak tertarik sama cremé de la cremé-nya Indonesia’
Tisya tersenyum menggoda. ‘Mommy sempat bersama Farel dulu, sebelum dia pergi travelling ke Amsterdam dan bertemu Serena’
Rui melotot. ‘What? You—and Farel Wiraga? Rui dengar dia yang paling tampan diantara Wiraga brothers, ya?’
Tisya tertawa melihat kekagetan anaknya. ‘Pourquoi—kenapa? Rui kesal Mommy nggak berhasil sama Farel? Kalau begitu Mommy nggak akan bertemu Mukas dan melahirkan kamu dan Cira dong, cherié. Oui, Farel est le frère le plus beau d’entre eux—tapi semua keturunan Wiraga memang tampan, apalagi dengan mata coklat terang mereka yang khas. Tapi untuk Mommy pribadi, I prefer classic like Mukas with his deep black eyes’ Iya, Farel memang yang paling tampan diantara mereka.
Rui tersenyum lebar, melebur dalam pelukan ibunya. ‘Je t’aime, ma mère’ I love you, mother.
Tisya mengecup puncak kepala Rui. ‘Moi aussi—me too. And hurry up, don’t you have a hot date to meet? Well, I hope he’s hot’
Rui tertawa, how she missed her Mommy so damn much.

Drops Café, Jak City-Square. 14.30.

Rui memainkan iPhone ber-glitter pink di tangannya, membuka website ZARA , Forever 21, Kohl’s, juga mengirimkan jadwal latihan cheers untuk besok. Beberapa minggu lagi mereka akan mengikuti National Teen Cheerleading Competition, jadi mereka harus siap.  Rui menatap sekeliling café yang masih sepi, mendesah, lalu membuka icon message.
To : Alka Wiraga
Al, can you give me any clue who’s going to be my date? I’m nervous.
Ia mengklik send, menunggu. Rui memainkan ice cream di cup miliknya, rasa cotton candy. Ia memang suka sekali makan yang manis-manis, walaupun Mommy udah memperingatkan Rui untuk hati-hati terkena diabetes. Makanan manis juga bisa membuat gendut. Oleh karena itu ia mulai mengurangi kadar makanan manisnya, untuk kebaikan dirinya sendiri juga anggota cheerleaders yang lain. Tidak mungkin kan dia bisa berada di posisi teratas pyramid kalau bobot badannya seberat badak? iPhone-nya berbunyi, tanda message masuk.
From : Alka Wiraga
Not a thing. It’s a BLIND DATE. Get ready for surprises! J And by the way, did I read wrong? Rui didn’t get nervous. Who are you and what do you do to Rui Rasityo?
Rui tertawa, memang enak sekali ngobrol dengan cowok se-humble Alka, apalagi sifatnya yang ceria dan jahil. Mereka memang tidak bersahabat dekat karena posisi itu telah diisi oleh Kama, namun Alka adalah partner in crime-nya di kelas, juga keisengannya yang lain. And Alka’s right. Rui Rasityo didn’t get nervous. Rui menghela nafas, membetulkan letak scarf Hermés milik Mommy di  lehernya, berusaha menenangkan diri. Kemarin Alka bilang blind date-nya akan mengenakan sweater merah,  tapi yang mengenakan sweater merah hanya seorang laki-laki mungkin berumur late 20’s, not really handsome but attractive, tipikal cowok-cowok metroseksual Jakarta. Tapi tidak mungkin kan Alka memberikannya date yang berumur lumayan jauh diatasnya?
‘Chairuni?’ Rui mendongak kearah suara yang memanggil namanya, wajahnya sedikit cemberut. Ia paling tidak suka dipanggil dengan nama depannya—Chairuni terdengar begitu kampungan dan ndeso banget. ‘Yes? And don’t call me with that name ag—Teno? Ngapain elo disini?’
Ia benar-benar kaget mendapati Teno—si nerd Ketua Ekskul Mading bisa hang out di café sekeren Drops, juga di Jak City-Square. Apa dia harus mencari tempat hang out baru, mengingat para nerds sebentar lagi bakal bermunculan di depan hidungya? Rui mendengus, lalu nafasnya tertahan melihat apa yang Teno kenakan. Demi Tuhan, sweater merah! ‘WHAT?’
Teno berdecak, menarik kursi di depan Rui, lalu duduk. ‘Sepertinya gue stuck disini dengan stuck-up snob seperti lo kalau begitu’
Pipi Rui memerah, marah dan sedikit blushing. Tentu saja ia juga kesal dan marah dengan Alka yang seenaknya memasangkannya dengan nerd seperti Teno, tapi ia tidak pernah menyangka kalau Teno diluar sekolah bisa sekeren—segaul ini! Memang disekolah Teno tidak seperti para nerds yang lain, memakai kacamata dan baju culun, malah Teno termasuk most wanted boys di KHIS dengan mata coklat susu dan rahang tegasnya. Tapi bagi Rui dan para beautiful people lain, seganteng apapun cowok itu, bila dia masuk ekskul yang ‘nggak banget’, tetap saja kategorinya nerd!
Tapi kali ini berbeda, cowok itu mengenakan sweater merah, jeans, dan sneakers hitam. Keren—cool and little bit classy, cocok dengan image-nya yang pendiam. Apalagi ditambah dengan rambut hitam pekatnya yang sedikit messyoh my god, apakah gue jatuh cinta sama nerd jutek nan dingin yang ini? Rui menggeleng. ‘Huh, lo pikir gue suka duduk sama lo begini? Image gue bakal hancur, tahu’
Teno mengangkat pandangannya dari iPhone ber-casing hitam ditangannya, menatap wajah cewek-cantik-tapi-sombong yang sedang duduk di hadapannya itu. Rui tetap sama seperti yang ia lihat disekolah, typical it-girl; cantik, stylish dan unreachable. Unreachable  karena cewek itu selalu beredar dalam lingkaran pergaulan yang tinggi, cremè de la cremè-nya Kesuma Harapan. ‘Tinggal pulang saja, kan, kalau begitu?’
Rui ternganga, terlalu terkejut dengan reaksi Teno untuk bergerak. ‘Huh?’
Teno terkekeh melihat ekspresi bengong Rui yang –anehnya, untuknya— begitu lucu. Ia mengangkat iPhone-nya kedepan wajah Rui, bermaksud memfotonya. ‘Gue foto, ya? KHIS News pasti bahagia sekali kalau bisa mendapatkan foto Rui Rasityo yang sedang melongo’
Rui tersadar, tangannya spontan terjulur kedepan, berusaha menghalangi lensa iPhone itu mengabadikan wajah bengongnya yang pasti ‘nggak banget’. ‘Teno!’ Rui berteriak kecil, tangannya tanpa sengaja menyentuh cup ice cream di depannya, membuat ice cream itu jatuh dan tumpah di sweater merah Teno. ‘Shoot!’
Rui terkejut mendengar umpatan kecil Teno, segera mengambil saputangan dari dalam tasnya, meminta maaf. ‘Oh my, I’m sorry. Gue nggak sengaja! Berapa harga sweater ini? Beli dimana—I’ll go get my driver to buy a new one right away—‘
Kata-kata Rui terpotong oleh ucapan kalem tapi dingin milik Teno. ‘Nggak semua barang bisa dibeli dengan uang, princess, termasuk sweater ini’
Rui terdiam, malu. Teno memanggilnya princess, bukan untuk memuji namun untuk menyindirnya. Ia kan nggak sengaja! ‘Maaf. Sungguh, maafin gue’
Teno mendongak, tersenyum dikulum melihat wajah Rui yang terlihat begitu menyesal. Ia berani bertaruh cewek itu nggak pernah meminta maaf dengan tulus kepada orang lain, mengingat tabiatnya yang selalu merendahkan orang disekitarnya. ‘It’s okay, nggak apa-apa. Lagipula sweater ini nggak seberharga itu’
Rui menggigit bibirnya, masih sedikit ragu. Teno terkekeh geli. ‘Udahlah, nggak usah dipikirin sampai stres begitu. Kemana Rui Rasityo yang biasa? Who are you, really?’
Rui ikut tertawa, hari ini sudah ada dua orang yang bilang kalau dirinya nggak bertingkah seperti biasanya. Dan semua itu hanya terjadi kalau gue berada dekat Teno! Rui melirik melalui ujung matanya, menemukan sosok Teno sedang sibuk membersihkan bekas-bekas ice cream di sweaternya, rambut messy-nya begoyang, membuat Rui berdebar tanpa sadar. What’s wrong with me? Ia menggeleng. ‘Terus, kita mau ngapain duduk-duduk seperti ini? Don’t you have any idea about dating rules? Gue rasa nggak, mengingat lo yang datang terlambat seperti tadi’
Teno mendengus, sedikit geli dan kesal. Rui telah kembali menjadi pribadi yang mendominatif dan bossy. Ia berdiri, lalu berjalan cuek keluar dari Drops, membuat Rui kembali ternganga di kursinya. ‘Hei—wait! Lo mau kemana?’
Ia menoleh cuek kebelakang, amused, melihat Rui Rasityo yang biasanya angkuh dan dingin kalang kabut ngejar dirinya. ‘Gonna learn about dating rules, remembering I don’t have one. Mau ikut?’ Ia terkekeh melihat pipi Rui yang sedikit memerah. This is gonna be fun.

***

P.S = Did you notice the same name between this and Aredio-Tascha's?
Aredio's family name is Wiraga, and I'll write some stories of all the members of that family.
What I've been working on now is Alka Ramasira Wiraga', and it's a novel.
Maybe next time I'll post his story here :)

Friday, July 2, 2010

Biru, my gentle stranger.

Another story, but this time it's finished.

***

Iya, Mum, Cherryl udah mau pulang kok. Don’t you worry. Iya—I love you too. Bye’
Cherryl menutup flip ponselnya, lalu kembali menatap pemandangan di depannya. Tadi dia keasikan gossiping –soal Vandi yang ketahuan sakaw di toilet— sama Dania dan  Olin, sahabat sehidup sematinya semenjak masuk sekolah di Parama Institute. Dia masih nggak habis pikir, ternyata masih saja ada orang yang tega merusak tubuhnya sendiri, hidupnya—masa depannya, hanya untuk mencicipi sedikit kenikmatan atau lari dari masalah. Cherryl mendengus. Gue tidak akan pernah menjadi mereka yang pengecut dan tidak tahu diri, udah diberi kehidupan sama Tuhan malah disia-siakan seperti itu.
Cherryl melihat jam merah berbentuk buah ceri di tangannya, 15.00. Setengah jam lagi ia harus udah sampai di rumah, lalu langsung pergi ke Katarina Academy of Dance untuk menghadiri resital ballet-nya, dimana Cherryl mendapatkan peran menjadi Odette di ballet Swan Lake. Seandainya saja hari ini tidak hujan dan gue membawa payung, desah Cherryl, jemari mungilnya memainkan tetesan hujan yang jatuh dari atap lobby sekolah. Tidak mungkin berjalan kaki dari sini ke halte Trans Jakarta, dia bisa jatuh sakit dan tidak jadi ikut resital.
Cherryl menoleh kearah kanan-kiri, hanya tinggal dirinya dan satu orang cowok yang tidak ia kenal di lobby tersebut, sementara beberapa lampu di hallway telah dimatikan. Ia bergidik, spontan menutup mata. Kabarnya kan Parama Institute kalau udah malam seram sekali. Bangunan klasik Inggrisnya mengingatkan Cherryl pada film-film hantu zaman dulu yang sering ditonton Quinn, kakaknya. Mana hari ini hujannya cukup deras, bagaimana kalau tiba-tiba lampu mati dan—
‘AARGH!’ Cherryl spontan berteriak dan menutup telinganya saat merasakan sentuhan halus dan dingin di bahunya. I-itu tadi apa? Cherryl berbalik perlahan, takut untuk menemukan sesuatu yang aneh dan mengerikan dibelakangnya. Ia nggak pernah percaya dengan hantu dan hal-hal gaib lainnya, tapi kan mungkin saja—
Cherryl mendongak, matanya bertemu dengan mata hitam pekat yang sekarang bersinar geli. Wajah orang itu tidak terlalu terlihat, karena sosoknya membelakangi sinar lampu di lobby. Cherryl mendengar dengusan kecil orang itu—cowok itu—, wajahnya spontan memerah. Cowok nggak dikenal ini menertawai dirinya!
‘Maaf kalau saya mengagetkanmu’ Suara cowok itu berat, sedikit serak, tapi manis. Cherryl suka sekali. ‘Tapi saya hanya mau memberimu ini. Here—I don’t really need it anyway’ cowok itu menyerahkan sebuah payung biru plastik kearahnya, lalu berlari keluar menerobos hujan. Tas ransel yang tadi disandangnya sekarang menutupi kepalanya, untuk menghalangi air hujan yang begitu deras.
Cherryl hanya tertegun di pintu lobby, sebelah tangannya memegang payung biru yang diberikan oleh cowok itu, sementara matanya masih menatap sosok si cowok yang sebentar lagi akan menghilang dibalik pagar kokoh Parama Institute, hoodie dan ransel birunya mencolok sekali. Cherryl menatap payung ditangannya, tersenyum. Thank you, gentle stranger. This is absolutely a thing that I’m gonna write on my diary.
***
That’s a wrap! Congratulations!’
Cherryl tersenyum di dalam balutan tutu Odette dan pointe shoes-nya mendengar ucapan Mrs. Wesley, principal mereka yang begitu bersemangat. Tangannya sibuk mengelap tetesan keringat yang jatuh dari pelipis. Ia segera mengganti kostum resitalnya degan dress motif ceri selutut, vest jeans dan sepatu brogue, lalu berjalan keluar dari changing room. Cherryl baru saja hendak melangkah keluar dari lobby Katarina ketika mendengar suara melengking yang begitu khas dari belakang, memanggilnya. ‘Hey, buah ceri!’
Cherryl menarik nafas seraya berbalik. Hanya ada satu orang di dunia ini yang nggak rela menyebut namanya ‘Cherryl’, dan menggantinya menjadi ‘buah ceri’. ‘Tanya’
Tanya, si pirang cantik kelahiran Seattle tapi dibesarkan di Jakarta—sekaligus rivalnya dalam ballet itu menatap Cherryl meremehkan.  ‘Your Odette is really a shame. Even a duck can do pirouette better’
Cherryl menggeretakkan giginya pelan, berusaha menahan emosi. Selalu seperti ini, ketika Tanya kalah audisi peran utama dengannya, cewek pirang ini pasti akan mengata-ngatainya untuk membuat dirinya sendiri lebih baik. Cherryl tersenyum mengingat nasihat Mum kepadanya—always turn a bad words with a polite smile. ‘Thank you for caring, Tan. Odile-mu juga bagus sekali. Tapi kalau aku begitu buruk seharusnya kamu yang jadi Odette, kan?’
Cherryl hampir terkikik melihat wajah Tanya yang memerah—marah dan malu. Ia tersenyum sekali lagi, lalu berjalan keluar lobby. Hujan masih begitu deras diluar. Cherryl merogoh tas tangannya, menarik keluar sebuah payung plastik biru. Sambil tersenyum, ia melangkah keluar, menerobos hujan.
*** 
Monday.
Hari ini begitu perfect, resital kami bagus dan mendapatkan banyak pujian, I’m glad. Aku takut apa yang dikatakan Tanya benar, kalau pirouette-ku jelek sekali. Tapi untung Mrs. Wesley bilang aku begitu anggun seperti angsa putih, begitu bersinar dan menenangkan. Eat that, Tanya –Odile yang kamu perankan dikatai seperti bebek. Memang kata Mum I shouldn’t say bad things to others, tapi kalau menulis tidak apa-apa, bukan?
But the most exciting part is, I met a gentle stranger in my school’s lobby. Not technically met, tapi dia melihatku & aku melihatnya. Dia baik sekali, meminjamkanku payung yang seharusnya bisa ia pakai, daripada berlari dibawah hujan deras seperti tadi. Tentu saja payungnya tidak kubuang, malah kubersihkan dan kuletakkan di dekat dresser, supaya payungnya tetap hangat. What a silly me, kukira payung itu anak kucing?
*** 
‘Cherryl Amangku! Kemarin kamu kemana saja? Why didn’t you tell Mum and Pak Tarjo if you’re gonna take a bus? I was so worried back here’
Cherryl meringis, mendongak dari piring cheese omelette di depannya. Terry Sudrajat, ibunya, berdiri di depan gazebo dining rumahnya, rambut pirang madunya bersinar dibawah cahaya matahari pagi. ‘Good morning, Mum’
Mata biru Terry menyipit, nggak percaya anak bungsunya nyuekin dia seperti ini. ‘Cherryl Amangku!’
Cherryl nyengir, menyambar tas tangan Louis Vuitton motif buah ceri dari lengan kursi, lalu berdiri untuk mengecup pipi ibunya. ‘Sorry. Cherryl hanya mencoba untuk mandiri’
Terry menggeleng, mengelus rambut anaknya pelan. ‘Tapi kan Trans Jakarta itu kendaraan umum, Cherryl dear. I don’t even sure it’s safe’
Cherryl tertawa, Mum-nya ini cerewet dan panikan sekali. ‘It’s safe, and cheap—jalan kakinya sekaligus olahraga. Cherryl berangkat ya, tell Pak Tarjo not to pick me up. I love you, Mum!’
Terry tersenyum, balas melambaikan tangan. ‘Love you too. Tell the driver to be careful!’
Cherryl tertawa seraya melangkah dalam nude Maniac Pumps dari Brian Atwood miliknya, bersyukur Parama Institute membolehkan siswinya memakai heels. Ia berjalan menaiki tangga halte Trans Jakarta, senang pagi itu suasanya masih sepi. Cherryl membeli tiket, lalu langsung berjalan memasuki bus yang agak ramai di depannya, takut telat kalau menunggu bus lain. Nggak sengaja hak sepatu pumpsnya menginjak permukaan yang tidak rata di lantai bus, membuat tubuhnya terjatuh ke depan. Cherryl meringis, spontan menutup mata, menunggu tubuhnya menyentuh lantai yang dingin dan ditertawai semua orang.
Jadi ia benar-benar kaget ketika tubuhnya hanya miring sedikit, ditopang oleh sepasang tangan yang melingkar di pinggangnya. Cherryl mendongak, matanya bertemu dengan mata hitam pekat yang bersinar dibawah lampu bus. Perut Cherryl bergolak kecil. Mata itu
‘Apakah kamu nggak apa-apa?’ Suaranya berat, sedikit serak, tapi manis. ‘Are you okay?’
Cherryl tersadar dari dejavú-nya, sedikit blushing gara-gara kepergok melamun. ‘I-I’m fine, makasih ya’
Cowok itu hanya mengangguk, mempersilahkan Cherryl duduk di kursi yang tadi didudukinya. Cherryl duduk dengan kikuk, matanya memperhatikan sosok didepannya. Cowok itu begitu manly—macho, dengan postur tegap sedikit berotot. Rambutnya sedikit melewati kerah kemeja biru muda yang dipakainya, bagian lengan digulung sampai siku. Rahangnya kokoh, alisnya tebal, hidungnya mancung—sedikit patah di pangkalnya—, matanya bulat dan tajam. Cherryl suka sekali dengan warnanya yang segelap malam, begitu bening, ia bisa berkaca disana.
Cowok itu bersandar pada tiang bus, kakinya disilangkan, telinganya ditutupi earphone biru. Kakinya terkadang bergerak mengetuk lantai, mungkin mengikuti beat lagu yang di dengarnya. Cherryl tersenyum, membayangkan apa genre musik kesukaan cowok itu, apa hobinya, apa makanan kesukaannya, apa warna favoritnya? Biru. Tanpa sadar Cherryl terkikik kecil, mengingat hal itu udah jelas sekali, semua benda yang melekat di tubuh cowok itu berwarna biru.
Tiba-tiba speaker bus berbunyi, menandakan mereka sampai di daerah Menteng, lalu cowok itu berjalan keluar, ransel birunya bergoyang di pundak. Cherry menatap punggungnya yang menghilang sambil menghela nafas sedih. I could stand just sit here and see you moving your foot all the time.
***
Tuesday.
I saw him again. Kali ini cowok itu duduk diam di kursi, tangannya memegang sebuah buku kecil. Kamus mini biologi. Calon dokterkah? I love smart boys. Lebih enak berbicara dengan cowok yang berpengetahuan luas dibandingkan mereka yang selalu melihat ke arah dada—atau organ tubuhmu yang lain, kan? Yeah, right, seperti aku berani saja menyapanya.
***
Wednesday.
I saw him again (again). Apakah ini jodoh? Atau hanya aku yang selalu menolak untuk diantar Pak Tarjo naik mobil supaya bisa bertemu dengannya? Benar. Mum sampai marah-marah karena aku lebih memilih naik angkutan umum yang ramai daripada mobil Mercedez Bénz yang nyaman. Tidakkah Mum tahu kalau aku berusaha mengurangi polusi udara Kota Jakarta yang melimpah? Lagipula bayaran atas omelan Mum setimpal dengan apa yang kulihat hari ini.
Cowok itu mengenakan sweater biru muda –yang terlihat sangat classy dan cool dipakai olehnya—,  tanganya sibuk mencoret-coret buku di pangkuan. Is that a sketch book? I love art. Ayah suka sekali melukis, jadi sejak kecil aku juga udah kecipratan sedikit bakat di bidang itu. Mungkin suatu hari kita bisa melukis bareng. Bolehkah?
***
Thursday.
Ya Tuhan. Cowok itu begitu baik, dia menolongku lagi hari ini. Tadi, aku sedang duduk –juga curi-curi pandang kearah sosok yang duduk nggak jauh dariku— ketika aku melihat seorang ibu-ibu yang sedang hamil tua, terlihat kerepotan juga kelelahan membawa barang belanjaan. Kebetulan bus sedang penuh saat itu, dan nggak ada orang yang berniat berdiri untuk memberikan tempat duduknya. Padahal kebanyakan dari mereka laki-laki!
Jadi aku berdiri, menawarkan tempat dudukku. Tapi sang ibu malah menolak, berkata bahwa sebentar lagi dia akan turun. Dan aku hanya berdiri kikuk di tengah-tengah, dengan muka memerah, diliatin semua orang dengan pandangan yang aneh. Bahkan ada beberapa dari mereka yang tertawa. Untunglah saat itu, Biru berdiri –nggak apa-apa kan kalau aku memanggilnya Biru?—, lalu menawarkan tempat duduknya juga. Biru juga bilang, berdiri sambil membawa barang berat seperti itu tidak baik untuk kondisi bayinya. Akhirnya sang ibu duduk di tempat dudukku, dan aku pindah ke tempat duduk Biru.
Sedangkan Biru berdiri disana, begitu gagahnya. Yang membuatku heran adalah, begitu susahkah untuk membantu orang lain?
***
Friday.
He smiled to me. He smiled to me. He smiled to me. He smiled to—okay, I have to stop repeating that sentence. One more time. Dia—Biru, tersenyum kearahku. Aku sedang melihat kesekeliling bus, saat tiba-tiba kepalaku seperti tertarik kearahnya dan bum! Disanalah dia, sedang mendongak dari kamus mini biologi ditangannya, menatapku. Lalu kedua ujung bibir merah mudanya tertarik, membuat senyum simpul. Dan aku hanya terdiam disana, terlalu terpana, bahkan ketika pandangan Biru kembali ke kamus mini ditangannya.
Lagu penyanyi Indonesia –siapa? Mulan Kodok? Kwok?— bergema dipikiranku. Mum, mum, mum. Tolonglah aku yang sedang bingung. merasakan virus-virus cinta. Kubutuh dokter cinta. See? Seleraku yang biasanya Katy Perry banting haluan. I’m falling in love.
***
Saturday.
Today is weekend, so I can’t see him. Tidak mungkin aku minta izin ke Mum untuk pergi ke sekolah, karena Mum tahu dengan pasti ekskul tennis yang kuikuti hari Rabu pukul empat. Dan aku terlalu mencintai tennis untuk pindah ke ekskul tari. Aku juga sadar diri, badanku yang kaku seperti kayu ini lebih baik dijadikan stik golf daripada ikut ekskul seni tari ataupun cheers. Dan aku benar-benar bodoh dalam olahraga, kecuali jalan cepat, karena itu dibutuhkan untuk shopper akut sepertiku.
P.S. Mulan’s song masih bergema dikepalaku, apakah aku harus ke dokter cinta sungguhan?.
***
‘Cher? Cherryl!’
Cherryl mendongak dari buku hariannya, yang bersampul kulit berwarna putih susu dan dihiasi motif buah ceri. Setelah dibaca ulang, selama seminggu ini isi diary-nya selalu tentang Biru. Padahal kan biasanya dia selalu cerewet curhat di diary, kalau telinga Olin sama Dania udah perlu dibawa ke THT. ‘Ada apa?’
Olin, cewek tomboy berambut panjang itu melotot, kesal. ‘Ada apa? Gue udah berusaha memanggil lo sampai tenggorokan kering, tau! Baca apaan sih? Nggak bisa nanti, ya? We’re having a bestfriends quality time, nih!’
Cherryl meringis, sahabatnya yang satu ini kalau ngomong memang to the point abis. Mereka bertiga –Cherryl, Dania, Olin— lagi ada di cabang Ramsey’s Coffee Shop yang terletak di Jakarta City-Square, tempat nongkrongnya anak-anak muda soalnya fasilitasnya lengkap banget. ‘Sorry’
Olin mendengus, Dania tertawa. Cewek sunda berambut pixie cut ini hanya geleng-geleng, sibuk dengan benda ditangannya. Payung plastik biru. ‘What’s this, Cher? Dari minggu yang lalu sepertinya benda ini nggak pernah ketinggalan di tasmu. Padahal kan motifnya bukan lo sekali, tidak ada buah ceri-nya’
Cherryl nyengir, pikirannya terlalu sibuk dengan Biru sampai-sampai ia lupa cerita dengan sahabatnya sendiri. ‘Well, that umbrella is really precious to me. I have something to tell you guys about, actually. So, there’s a guy named Biru—it’s not his real name though, I just named it to him because it seems that he happen to love blue..’
Dari bibir mungil Cherryl yang waktu itu mengenakan nude lipstick MAC, mengalirlah cerita tentang si gentle stranger—Biru, tentang betapa baiknya, tampannya, gagahnya cowok itu. Dania serius mendengarkan, sementara Olin beberapa kali terpekik ‘so sweet’. Cherryl kadang-kadang suka bingung sama sifat tomboi tapi cengeng Olin. Nggak matching banget. ‘Jadi begitulah. Maybe—I’m falling in love’
Olin menatapnya nggak percaya. ‘Maybe? Are you insane? You’re absolutely falling for this guy! Who’s not?’
Dania juga tersenyum menggoda kearahnya. ‘Olin benar. Siapa yang nggak akan jatuh cinta sama cowok seperti yang kamu deskripsikan tadi, Cher? Gue yang baru dengar saja langsung suka—gentleman sekali’
Pipi Cherryl memerah, membuat Olin dan Dania menggodanya lebih keras. Cewek ini diberi nama Cherryl karena obsesinya akan buah ceri, juga karena dari kecil setiap Cherryl blushing, pipinya akan berubah merah, persis seperti buah ceri. Manis dan menggemaskan. ‘Stop it! Siapa tahu he actually had a girlfriend’
Dania menatap Cherryl tepat di bola mata. ‘Is that really what you want? Kalau si Biru punya pacar?’
Cherryl mendongak, tiba-tiba merasakan tonjokan kecil di perutnya. Kenapa tiba-tiba ia merasa nggak rela? Padahal kan si Biru bukan siapa-siapanya, mereka bahkan tidak kenal. And she (maybe) falling in love with him. That’s not a problem, right?
Melihat Cherryl yang diam saja, Olin langsung menarik cewek itu dan Dania berdiri, berjalan menuju Debenhams. ‘Let’s forget about that for a while. Gue lagi butuh make-up makeover nih, anyone in?’
Cherryl langsung tertawa riang, berjalan cepat kearah counter MAC, brand make-up favoritnya. Nggak biasanya si tomboy Olin mau membeli make-up, cewek itu kan paling maksimal pakai bedak bayi dan lipgloss. Dan eyelength mascara miliknya sendiri juga sudah mulai habis. Jadi Cherryl sibuk berkutat di depan cermin counter MAC, tangan kanan mengulas mascara ke eyelashes-nya, tangan yang kiri memegang payung biru.
Ia baru saja akan berbalik ketika melihat sosok pemilik payung biru ditangannya, sedang memilih-milih CD musik di CDs Store seberang counter MAC tempatnya sekarang. Cherryl tertegun sejenak, lalu tersadar akan cubitan kecil di pipinya. ‘Cher?’
Cherryl menoleh, melihat Dania dan Olin menatapnya bingung. Jari Cherryl menunjuk ke arah depan, tempat si Biru berdiri. ‘I-itu’
Dania mengangkat alisnya, lalu pandangan matanya mengikuti arah jari Cherryl. Nafas Dania tertahan—ia melihat sosok tampan dalam balutan kemeja, sneakers dan ransel biru! ‘Is that him? Your gentle stranger?’
Cherryl mengangguk patah-patah, nggak menyangka akan melihat si Biru lagi, padahal hari ini weekend. Mereka juga tidak ada di dalam Trans Jakarta, namun ditengah-tengah mall yang luas! ‘I-iya’
Olin sedikit terpekik. ‘Come on, you silly Cherry! Ajak mengobrol sana! Kesempatan seperti ini tidak datang dua kali, you know’
Perut Cherryl bergolak, tanda-tanda pasti kalau dia lagi nervous. ‘What I have to say?’
Dania menarik payung yang tanpa sadar Cherryl genggam begitu derat sedari tadi, menyodorkannya langsung ke muka cewek itu. Cherryl meringis, dia nervous sekali sampai tidak bisa berpikir jernih. Cherryl menarik nafas, menegapkan tubuhnya, lalu berjalan ke arah si gentle stranger—Biru. Untung saja hari ini ia mengenakan pakaian terbaiknya; white t-shirt plus denim vest Alexander Wang, faded jeans Mark & Spencer, chunky heels Roberto Cavalli—hadiah dari ayah waktu beliau pergi ke NYC—, dan tas tangan Mulberry inspired by Alexa Chung. Rambut hitamnya tergerai sedikit messy di punggung; Taylor Momsen rock chick look-a-like.
Cherryl udah setengah berjalan ke arah Biru, namun mengurungkan niatnya, lalu berbalik kembali ke belakang. Olin dan Dania melotot. Cherryl terkikik melihat Olin yang hampir berteriak. Ia menghela nafas, kembali berjalan ke arah Biru, jantungnya bertedak kencang sekali ketika tangannya menyentuh bahu Biru pelan. Ia sampai takut kalau cowok itu bisa mendengar suara detak jantungnya yang diatas normal. ‘Halo’
Biru menoleh, matanya masih sehitam seperti yang Cherryl ingat. Alis tebalnya mengangkat, bertanya. Cherryl menarik nafas sebentar, lalu melanjutkan. ‘Terimakasih ya udah meminjamkan payung milikmu’
Kening Biru berkerut. ‘Payung? Payung apa, ya?’
Cherryl berdiri diam, speechless. 'I-I’m sorry—mungkin kamu orang yang salah’ ucapnya tergagap, lalu segera berlari ke girl’s toilet terdekat. Secepat wajahnya menatap cermin, secepat itu juga air matanya menetes. Cherryl menangis tersedu-sedu, membiarkan kekecewaannya mengalir.
‘Cher’ Cherryl merasakan tubuhnya dipeluk, wangi parfum Oceanus by Body Shop menenangkan pikirannya. Dania. ‘Ssh. We’re here for you. Ada apa?’
Cherryl menatap kedua sahabatnya yang balik menatapnya khawatir. Dengan cepat ia menghapus airmata di pipinya. ‘He don’t remember. Even a thing. Ternyata hanya aku yang terlalu berharap’ ucapnya, air matanya kembali menetes turun ke pipi.
Jadi disanalah Cherryl, di girl’s toilet Jakarta City-Square ditemani kedua sahabatnya, berusaha menyembuhkan hatinya yang patah.
***
‘Cher, hari ini pulang dijemput Pak Tarjo? Atau naik Trans Jakarta?’
Cherryl mendesah, bingung akan pertanyaan Terry di seberang ponselnya. ‘Cherryl naik Trans Jakarta aja, Mum’
‘Yaudah kalau begitu. Be careful, dear’
Yeah’ Lemas, tanpa minat Cherryl menutup flip ponselnya, lalu menatap halaman Katarina Academy of Dance yang basah karena tetesan hujan. Awan gelap, sesuai dengan suasana hatinya saat ini. Ia mendesah, lalu menatap dua buah payung ditangannya. Sebuah payung putih bermotif buah ceri, sebuah payung plastik polos biru. Cherryl menggeleng, membuka payung putih buah ceri-nya, lalu berjalan kearah halte Trans Jakarta.  Ia membeli tiket, lalu segera menaiki bus yang pertama kali muncul.
Hawa bus agak dingin, untung Cherryl mengenakan sweater putih berkancing buah ceri kesayangannya. Ia menoleh kiri-kanan, mencari tempat duduk, namun tidak mungkin karena bus penuh sesak. He’s not here, Cherryl berkata sedih dalam hati. Ia menatap payung biru ditangannya, bermaksud meninggalkannya di tempat keranjang payung di bus. He don’t remember anyway.
Ponsel di tangannya bergetar, menandakan message. Cherryl tertawa kecil membaca message Olin yang begitu bersemangat menghiburnya, layarnya dipenuhi dengan emote lucu. Ia mengembalikan ponselnya kedalam tas, lalu menoleh sekali lagi kearah keranjang payung, untuk melihat payung yang tadi ditinggalkannya. Dada Cherryl mencelos ketika matanya tidak menemukan payung tersebut, lalu menoleh kiri-kanan, mencari. Speaker bus berbunyi, mereka tiba di daerah Menteng. Mata Cherryl nggak sengaja menatap sesosok perempuan membuka payung biru itu diluar, lalu segera berlari mengejarnya.
W-wait! Tunggu!’ Hujan masih begitu deras diluar, membasahi seragam dan rambut Cherryl. Hak sepatunya terpeleset jalanan yang licin, membuatnya hampir terjatuh. Cherryl memejamkan mata, namun lagi-lagi dirinya tetap berdiri. Cherryl tersentak, dejavú kembali melandanya, saat kedua tangan itu melingkari pinggangnya, membantunya berdiri.
Cherryl menahan nafasnya menatap kedua bola mata hitam itu lagi, melihat ransel birunya bergoyang dipunggung ketika ia berlari. Setetes air mata bercampur hujan menghiasi pipinya. Aku nggak bisa melupakannya.
Air mata Cherryl tambah deras ketika melihat sosoknya berjalan mendekat, lalu memayungi mereka berdua yang basah kuyup dengan payung biru ditangannya. Ia tersenyum. ‘Is this belong to me? Gue nggak percaya lo masih menyimpannya’
Suaranya berat, sedikit serak, tapi manis. Cherryl menatapnya nggak percaya. ‘Kamu ingat?’
Of course. Siapa yang bisa melupakan cewek dengan aksesoris seramai sepertimu? Buah ceri semua lagi. Namamu Cherry-kah? I’m sorry about yesterday at Jakarta City-Square. Gue nggak mengenalimu—by the way, the mascara looks great on you’
Cherryl mengusahakan senyum diantara tangisnya—sedikit blushing. ‘It’s Cherryl. Cherryl Sudrajat’
Cowok itu tersenyum. ‘Kenapa kita tidak berteduh di sana saja? Monday’s? Lo suka pizza? Gue Naufan—Naufan Aryasatya’
***
Sunday.
Aku nggak percaya dia masih mengingatku, juga kejadian tentang payung plastik biru kemarin di Parama Institute. Ternyata dia murid sekolah internasional St. Jude di Menteng. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Naufan ternyata putranya Pak Irfan, chemistry teacher-ku. What a coincidence!
Kita have fun banget tadi di Monday’s, ngobrol-ngobrol. Dia juga suka pizza cheese loaf sepertiku. Eh, kayaknya aku harus segera minta dana ke Mum deh, mau beli dress Pucci yang kulihat kemarin di Jak City-Square. Untuk apa? Well, just so you know, Naufan asked me to go to a movie tommorow. Tepat seminggu kita ketemu, juga tepat seminggu Naufan mengisi diary-ku.
P.S. Nama lengkapnya Naufan Biru Aryasatya. Tebakanku benar! 
***