Another story, but this time it's finished.
***
‘Iya, Mum, Cherryl udah mau pulang kok. Don’t you worry. Iya—I love you too. Bye’
Cherryl menutup flip ponselnya, lalu kembali menatap pemandangan di depannya. Tadi dia keasikan gossiping –soal Vandi yang ketahuan sakaw di toilet— sama Dania dan Olin, sahabat sehidup sematinya semenjak masuk sekolah di Parama Institute. Dia masih nggak habis pikir, ternyata masih saja ada orang yang tega merusak tubuhnya sendiri, hidupnya—masa depannya, hanya untuk mencicipi sedikit kenikmatan atau lari dari masalah. Cherryl mendengus. Gue tidak akan pernah menjadi mereka yang pengecut dan tidak tahu diri, udah diberi kehidupan sama Tuhan malah disia-siakan seperti itu.
Cherryl melihat jam merah berbentuk buah ceri di tangannya, 15.00. Setengah jam lagi ia harus udah sampai di rumah, lalu langsung pergi ke Katarina Academy of Dance untuk menghadiri resital ballet-nya, dimana Cherryl mendapatkan peran menjadi Odette di ballet Swan Lake. Seandainya saja hari ini tidak hujan dan gue membawa payung, desah Cherryl, jemari mungilnya memainkan tetesan hujan yang jatuh dari atap lobby sekolah. Tidak mungkin berjalan kaki dari sini ke halte Trans Jakarta, dia bisa jatuh sakit dan tidak jadi ikut resital.
Cherryl menoleh kearah kanan-kiri, hanya tinggal dirinya dan satu orang cowok yang tidak ia kenal di lobby tersebut, sementara beberapa lampu di hallway telah dimatikan. Ia bergidik, spontan menutup mata. Kabarnya kan Parama Institute kalau udah malam seram sekali. Bangunan klasik Inggrisnya mengingatkan Cherryl pada film-film hantu zaman dulu yang sering ditonton Quinn, kakaknya. Mana hari ini hujannya cukup deras, bagaimana kalau tiba-tiba lampu mati dan—
‘AARGH!’ Cherryl spontan berteriak dan menutup telinganya saat merasakan sentuhan halus dan dingin di bahunya. I-itu tadi apa? Cherryl berbalik perlahan, takut untuk menemukan sesuatu yang aneh dan mengerikan dibelakangnya. Ia nggak pernah percaya dengan hantu dan hal-hal gaib lainnya, tapi kan mungkin saja—
Cherryl mendongak, matanya bertemu dengan mata hitam pekat yang sekarang bersinar geli. Wajah orang itu tidak terlalu terlihat, karena sosoknya membelakangi sinar lampu di lobby. Cherryl mendengar dengusan kecil orang itu—cowok itu—, wajahnya spontan memerah. Cowok nggak dikenal ini menertawai dirinya!
‘Maaf kalau saya mengagetkanmu’ Suara cowok itu berat, sedikit serak, tapi manis. Cherryl suka sekali. ‘Tapi saya hanya mau memberimu ini. Here—I don’t really need it anyway’ cowok itu menyerahkan sebuah payung biru plastik kearahnya, lalu berlari keluar menerobos hujan. Tas ransel yang tadi disandangnya sekarang menutupi kepalanya, untuk menghalangi air hujan yang begitu deras.
Cherryl hanya tertegun di pintu lobby, sebelah tangannya memegang payung biru yang diberikan oleh cowok itu, sementara matanya masih menatap sosok si cowok yang sebentar lagi akan menghilang dibalik pagar kokoh Parama Institute, hoodie dan ransel birunya mencolok sekali. Cherryl menatap payung ditangannya, tersenyum. Thank you, gentle stranger. This is absolutely a thing that I’m gonna write on my diary.
***
‘That’s a wrap! Congratulations!’
Cherryl tersenyum di dalam balutan tutu Odette dan pointe shoes-nya mendengar ucapan Mrs. Wesley, principal mereka yang begitu bersemangat. Tangannya sibuk mengelap tetesan keringat yang jatuh dari pelipis. Ia segera mengganti kostum resitalnya degan dress motif ceri selutut, vest jeans dan sepatu brogue, lalu berjalan keluar dari changing room. Cherryl baru saja hendak melangkah keluar dari lobby Katarina ketika mendengar suara melengking yang begitu khas dari belakang, memanggilnya. ‘Hey, buah ceri!’
Cherryl menarik nafas seraya berbalik. Hanya ada satu orang di dunia ini yang nggak rela menyebut namanya ‘Cherryl’, dan menggantinya menjadi ‘buah ceri’. ‘Tanya’
Tanya, si pirang cantik kelahiran Seattle tapi dibesarkan di Jakarta—sekaligus rivalnya dalam ballet itu menatap Cherryl meremehkan. ‘Your Odette is really a shame. Even a duck can do pirouette better’
Cherryl menggeretakkan giginya pelan, berusaha menahan emosi. Selalu seperti ini, ketika Tanya kalah audisi peran utama dengannya, cewek pirang ini pasti akan mengata-ngatainya untuk membuat dirinya sendiri lebih baik. Cherryl tersenyum mengingat nasihat Mum kepadanya—always turn a bad words with a polite smile. ‘Thank you for caring, Tan. Odile-mu juga bagus sekali. Tapi kalau aku begitu buruk seharusnya kamu yang jadi Odette, kan?’
Cherryl hampir terkikik melihat wajah Tanya yang memerah—marah dan malu. Ia tersenyum sekali lagi, lalu berjalan keluar lobby. Hujan masih begitu deras diluar. Cherryl merogoh tas tangannya, menarik keluar sebuah payung plastik biru. Sambil tersenyum, ia melangkah keluar, menerobos hujan.
***
Monday.Hari ini begitu perfect, resital kami bagus dan mendapatkan banyak pujian, I’m glad. Aku takut apa yang dikatakan Tanya benar, kalau pirouette-ku jelek sekali. Tapi untung Mrs. Wesley bilang aku begitu anggun seperti angsa putih, begitu bersinar dan menenangkan. Eat that, Tanya –Odile yang kamu perankan dikatai seperti bebek. Memang kata Mum I shouldn’t say bad things to others, tapi kalau menulis tidak apa-apa, bukan?
But the most exciting part is, I met a gentle stranger in my school’s lobby. Not technically met, tapi dia melihatku & aku melihatnya. Dia baik sekali, meminjamkanku payung yang seharusnya bisa ia pakai, daripada berlari dibawah hujan deras seperti tadi. Tentu saja payungnya tidak kubuang, malah kubersihkan dan kuletakkan di dekat dresser, supaya payungnya tetap hangat. What a silly me, kukira payung itu anak kucing?
***
‘Cherryl Amangku! Kemarin kamu kemana saja? Why didn’t you tell Mum and Pak Tarjo if you’re gonna take a bus? I was so worried back here’Cherryl meringis, mendongak dari piring cheese omelette di depannya. Terry Sudrajat, ibunya, berdiri di depan gazebo dining rumahnya, rambut pirang madunya bersinar dibawah cahaya matahari pagi. ‘Good morning, Mum’
Mata biru Terry menyipit, nggak percaya anak bungsunya nyuekin dia seperti ini. ‘Cherryl Amangku!’
Cherryl nyengir, menyambar tas tangan Louis Vuitton motif buah ceri dari lengan kursi, lalu berdiri untuk mengecup pipi ibunya. ‘Sorry. Cherryl hanya mencoba untuk mandiri’
Terry menggeleng, mengelus rambut anaknya pelan. ‘Tapi kan Trans Jakarta itu kendaraan umum, Cherryl dear. I don’t even sure it’s safe’
Cherryl tertawa, Mum-nya ini cerewet dan panikan sekali. ‘It’s safe, and cheap—jalan kakinya sekaligus olahraga. Cherryl berangkat ya, tell Pak Tarjo not to pick me up. I love you, Mum!’
Terry tersenyum, balas melambaikan tangan. ‘Love you too. Tell the driver to be careful!’
Cherryl tertawa seraya melangkah dalam nude Maniac Pumps dari Brian Atwood miliknya, bersyukur Parama Institute membolehkan siswinya memakai heels. Ia berjalan menaiki tangga halte Trans Jakarta, senang pagi itu suasanya masih sepi. Cherryl membeli tiket, lalu langsung berjalan memasuki bus yang agak ramai di depannya, takut telat kalau menunggu bus lain. Nggak sengaja hak sepatu pumpsnya menginjak permukaan yang tidak rata di lantai bus, membuat tubuhnya terjatuh ke depan. Cherryl meringis, spontan menutup mata, menunggu tubuhnya menyentuh lantai yang dingin dan ditertawai semua orang.
Jadi ia benar-benar kaget ketika tubuhnya hanya miring sedikit, ditopang oleh sepasang tangan yang melingkar di pinggangnya. Cherryl mendongak, matanya bertemu dengan mata hitam pekat yang bersinar dibawah lampu bus. Perut Cherryl bergolak kecil. Mata itu—
‘Apakah kamu nggak apa-apa?’ Suaranya berat, sedikit serak, tapi manis. ‘Are you okay?’
Cherryl tersadar dari dejavú-nya, sedikit blushing gara-gara kepergok melamun. ‘I-I’m fine, makasih ya’
Cowok itu hanya mengangguk, mempersilahkan Cherryl duduk di kursi yang tadi didudukinya. Cherryl duduk dengan kikuk, matanya memperhatikan sosok didepannya. Cowok itu begitu manly—macho, dengan postur tegap sedikit berotot. Rambutnya sedikit melewati kerah kemeja biru muda yang dipakainya, bagian lengan digulung sampai siku. Rahangnya kokoh, alisnya tebal, hidungnya mancung—sedikit patah di pangkalnya—, matanya bulat dan tajam. Cherryl suka sekali dengan warnanya yang segelap malam, begitu bening, ia bisa berkaca disana.
Cowok itu bersandar pada tiang bus, kakinya disilangkan, telinganya ditutupi earphone biru. Kakinya terkadang bergerak mengetuk lantai, mungkin mengikuti beat lagu yang di dengarnya. Cherryl tersenyum, membayangkan apa genre musik kesukaan cowok itu, apa hobinya, apa makanan kesukaannya, apa warna favoritnya? Biru. Tanpa sadar Cherryl terkikik kecil, mengingat hal itu udah jelas sekali, semua benda yang melekat di tubuh cowok itu berwarna biru.
Tiba-tiba speaker bus berbunyi, menandakan mereka sampai di daerah Menteng, lalu cowok itu berjalan keluar, ransel birunya bergoyang di pundak. Cherry menatap punggungnya yang menghilang sambil menghela nafas sedih. I could stand just sit here and see you moving your foot all the time.
***
Tuesday.
I saw him again. Kali ini cowok itu duduk diam di kursi, tangannya memegang sebuah buku kecil. Kamus mini biologi. Calon dokterkah? I love smart boys. Lebih enak berbicara dengan cowok yang berpengetahuan luas dibandingkan mereka yang selalu melihat ke arah dada—atau organ tubuhmu yang lain, kan? Yeah, right, seperti aku berani saja menyapanya.
***
Wednesday.
I saw him again (again). Apakah ini jodoh? Atau hanya aku yang selalu menolak untuk diantar Pak Tarjo naik mobil supaya bisa bertemu dengannya? Benar. Mum sampai marah-marah karena aku lebih memilih naik angkutan umum yang ramai daripada mobil Mercedez Bénz yang nyaman. Tidakkah Mum tahu kalau aku berusaha mengurangi polusi udara Kota Jakarta yang melimpah? Lagipula bayaran atas omelan Mum setimpal dengan apa yang kulihat hari ini.
Cowok itu mengenakan sweater biru muda –yang terlihat sangat classy dan cool dipakai olehnya—, tanganya sibuk mencoret-coret buku di pangkuan. Is that a sketch book? I love art. Ayah suka sekali melukis, jadi sejak kecil aku juga udah kecipratan sedikit bakat di bidang itu. Mungkin suatu hari kita bisa melukis bareng. Bolehkah?
***
Thursday.
Ya Tuhan. Cowok itu begitu baik, dia menolongku lagi hari ini. Tadi, aku sedang duduk –juga curi-curi pandang kearah sosok yang duduk nggak jauh dariku— ketika aku melihat seorang ibu-ibu yang sedang hamil tua, terlihat kerepotan juga kelelahan membawa barang belanjaan. Kebetulan bus sedang penuh saat itu, dan nggak ada orang yang berniat berdiri untuk memberikan tempat duduknya. Padahal kebanyakan dari mereka laki-laki!
Jadi aku berdiri, menawarkan tempat dudukku. Tapi sang ibu malah menolak, berkata bahwa sebentar lagi dia akan turun. Dan aku hanya berdiri kikuk di tengah-tengah, dengan muka memerah, diliatin semua orang dengan pandangan yang aneh. Bahkan ada beberapa dari mereka yang tertawa. Untunglah saat itu, Biru berdiri –nggak apa-apa kan kalau aku memanggilnya Biru?—, lalu menawarkan tempat duduknya juga. Biru juga bilang, berdiri sambil membawa barang berat seperti itu tidak baik untuk kondisi bayinya. Akhirnya sang ibu duduk di tempat dudukku, dan aku pindah ke tempat duduk Biru.
Sedangkan Biru berdiri disana, begitu gagahnya. Yang membuatku heran adalah, begitu susahkah untuk membantu orang lain?
***
Friday.
He smiled to me. He smiled to me. He smiled to me. He smiled to—okay, I have to stop repeating that sentence. One more time. Dia—Biru, tersenyum kearahku. Aku sedang melihat kesekeliling bus, saat tiba-tiba kepalaku seperti tertarik kearahnya dan bum! Disanalah dia, sedang mendongak dari kamus mini biologi ditangannya, menatapku. Lalu kedua ujung bibir merah mudanya tertarik, membuat senyum simpul. Dan aku hanya terdiam disana, terlalu terpana, bahkan ketika pandangan Biru kembali ke kamus mini ditangannya.
Lagu penyanyi Indonesia –siapa? Mulan Kodok? Kwok?— bergema dipikiranku. Mum, mum, mum. Tolonglah aku yang sedang bingung. merasakan virus-virus cinta. Kubutuh dokter cinta. See? Seleraku yang biasanya Katy Perry banting haluan. I’m falling in love.
***
Saturday.
Today is weekend, so I can’t see him. Tidak mungkin aku minta izin ke Mum untuk pergi ke sekolah, karena Mum tahu dengan pasti ekskul tennis yang kuikuti hari Rabu pukul empat. Dan aku terlalu mencintai tennis untuk pindah ke ekskul tari. Aku juga sadar diri, badanku yang kaku seperti kayu ini lebih baik dijadikan stik golf daripada ikut ekskul seni tari ataupun cheers. Dan aku benar-benar bodoh dalam olahraga, kecuali jalan cepat, karena itu dibutuhkan untuk shopper akut sepertiku.
P.S. Mulan’s song masih bergema dikepalaku, apakah aku harus ke dokter cinta sungguhan?.
***
‘Cher? Cherryl!’
Cherryl mendongak dari buku hariannya, yang bersampul kulit berwarna putih susu dan dihiasi motif buah ceri. Setelah dibaca ulang, selama seminggu ini isi diary-nya selalu tentang Biru. Padahal kan biasanya dia selalu cerewet curhat di diary, kalau telinga Olin sama Dania udah perlu dibawa ke THT. ‘Ada apa?’
Olin, cewek tomboy berambut panjang itu melotot, kesal. ‘Ada apa? Gue udah berusaha memanggil lo sampai tenggorokan kering, tau! Baca apaan sih? Nggak bisa nanti, ya? We’re having a bestfriends quality time, nih!’
Cherryl meringis, sahabatnya yang satu ini kalau ngomong memang to the point abis. Mereka bertiga –Cherryl, Dania, Olin— lagi ada di cabang Ramsey’s Coffee Shop yang terletak di Jakarta City-Square, tempat nongkrongnya anak-anak muda soalnya fasilitasnya lengkap banget. ‘Sorry’
Olin mendengus, Dania tertawa. Cewek sunda berambut pixie cut ini hanya geleng-geleng, sibuk dengan benda ditangannya. Payung plastik biru. ‘What’s this, Cher? Dari minggu yang lalu sepertinya benda ini nggak pernah ketinggalan di tasmu. Padahal kan motifnya bukan lo sekali, tidak ada buah ceri-nya’
Cherryl nyengir, pikirannya terlalu sibuk dengan Biru sampai-sampai ia lupa cerita dengan sahabatnya sendiri. ‘Well, that umbrella is really precious to me. I have something to tell you guys about, actually. So, there’s a guy named Biru—it’s not his real name though, I just named it to him because it seems that he happen to love blue..’
Dari bibir mungil Cherryl yang waktu itu mengenakan nude lipstick MAC, mengalirlah cerita tentang si gentle stranger—Biru, tentang betapa baiknya, tampannya, gagahnya cowok itu. Dania serius mendengarkan, sementara Olin beberapa kali terpekik ‘so sweet’. Cherryl kadang-kadang suka bingung sama sifat tomboi tapi cengeng Olin. Nggak matching banget. ‘Jadi begitulah. Maybe—I’m falling in love’
Olin menatapnya nggak percaya. ‘Maybe? Are you insane? You’re absolutely falling for this guy! Who’s not?’
Dania juga tersenyum menggoda kearahnya. ‘Olin benar. Siapa yang nggak akan jatuh cinta sama cowok seperti yang kamu deskripsikan tadi, Cher? Gue yang baru dengar saja langsung suka—gentleman sekali’
Pipi Cherryl memerah, membuat Olin dan Dania menggodanya lebih keras. Cewek ini diberi nama Cherryl karena obsesinya akan buah ceri, juga karena dari kecil setiap Cherryl blushing, pipinya akan berubah merah, persis seperti buah ceri. Manis dan menggemaskan. ‘Stop it! Siapa tahu he actually had a girlfriend’
Dania menatap Cherryl tepat di bola mata. ‘Is that really what you want? Kalau si Biru punya pacar?’
Cherryl mendongak, tiba-tiba merasakan tonjokan kecil di perutnya. Kenapa tiba-tiba ia merasa nggak rela? Padahal kan si Biru bukan siapa-siapanya, mereka bahkan tidak kenal. And she (maybe) falling in love with him. That’s not a problem, right?
Melihat Cherryl yang diam saja, Olin langsung menarik cewek itu dan Dania berdiri, berjalan menuju Debenhams. ‘Let’s forget about that for a while. Gue lagi butuh make-up makeover nih, anyone in?’
Cherryl langsung tertawa riang, berjalan cepat kearah counter MAC, brand make-up favoritnya. Nggak biasanya si tomboy Olin mau membeli make-up, cewek itu kan paling maksimal pakai bedak bayi dan lipgloss. Dan eyelength mascara miliknya sendiri juga sudah mulai habis. Jadi Cherryl sibuk berkutat di depan cermin counter MAC, tangan kanan mengulas mascara ke eyelashes-nya, tangan yang kiri memegang payung biru.
Ia baru saja akan berbalik ketika melihat sosok pemilik payung biru ditangannya, sedang memilih-milih CD musik di CDs Store seberang counter MAC tempatnya sekarang. Cherryl tertegun sejenak, lalu tersadar akan cubitan kecil di pipinya. ‘Cher?’
Cherryl menoleh, melihat Dania dan Olin menatapnya bingung. Jari Cherryl menunjuk ke arah depan, tempat si Biru berdiri. ‘I-itu’
Dania mengangkat alisnya, lalu pandangan matanya mengikuti arah jari Cherryl. Nafas Dania tertahan—ia melihat sosok tampan dalam balutan kemeja, sneakers dan ransel biru! ‘Is that him? Your gentle stranger?’
Cherryl mengangguk patah-patah, nggak menyangka akan melihat si Biru lagi, padahal hari ini weekend. Mereka juga tidak ada di dalam Trans Jakarta, namun ditengah-tengah mall yang luas! ‘I-iya’
Olin sedikit terpekik. ‘Come on, you silly Cherry! Ajak mengobrol sana! Kesempatan seperti ini tidak datang dua kali, you know’
Perut Cherryl bergolak, tanda-tanda pasti kalau dia lagi nervous. ‘What I have to say?’
Dania menarik payung yang tanpa sadar Cherryl genggam begitu derat sedari tadi, menyodorkannya langsung ke muka cewek itu. Cherryl meringis, dia nervous sekali sampai tidak bisa berpikir jernih. Cherryl menarik nafas, menegapkan tubuhnya, lalu berjalan ke arah si gentle stranger—Biru. Untung saja hari ini ia mengenakan pakaian terbaiknya; white t-shirt plus denim vest Alexander Wang, faded jeans Mark & Spencer, chunky heels Roberto Cavalli—hadiah dari ayah waktu beliau pergi ke NYC—, dan tas tangan Mulberry inspired by Alexa Chung. Rambut hitamnya tergerai sedikit messy di punggung; Taylor Momsen rock chick look-a-like.
Cherryl udah setengah berjalan ke arah Biru, namun mengurungkan niatnya, lalu berbalik kembali ke belakang. Olin dan Dania melotot. Cherryl terkikik melihat Olin yang hampir berteriak. Ia menghela nafas, kembali berjalan ke arah Biru, jantungnya bertedak kencang sekali ketika tangannya menyentuh bahu Biru pelan. Ia sampai takut kalau cowok itu bisa mendengar suara detak jantungnya yang diatas normal. ‘Halo’
Biru menoleh, matanya masih sehitam seperti yang Cherryl ingat. Alis tebalnya mengangkat, bertanya. Cherryl menarik nafas sebentar, lalu melanjutkan. ‘Terimakasih ya udah meminjamkan payung milikmu’
Kening Biru berkerut. ‘Payung? Payung apa, ya?’
Cherryl berdiri diam, speechless. 'I-I’m sorry—mungkin kamu orang yang salah’ ucapnya tergagap, lalu segera berlari ke girl’s toilet terdekat. Secepat wajahnya menatap cermin, secepat itu juga air matanya menetes. Cherryl menangis tersedu-sedu, membiarkan kekecewaannya mengalir.
‘Cher’ Cherryl merasakan tubuhnya dipeluk, wangi parfum Oceanus by Body Shop menenangkan pikirannya. Dania. ‘Ssh. We’re here for you. Ada apa?’
Cherryl menatap kedua sahabatnya yang balik menatapnya khawatir. Dengan cepat ia menghapus airmata di pipinya. ‘He don’t remember. Even a thing. Ternyata hanya aku yang terlalu berharap’ ucapnya, air matanya kembali menetes turun ke pipi.
Jadi disanalah Cherryl, di girl’s toilet Jakarta City-Square ditemani kedua sahabatnya, berusaha menyembuhkan hatinya yang patah.
***
‘Cher, hari ini pulang dijemput Pak Tarjo? Atau naik Trans Jakarta?’
Cherryl mendesah, bingung akan pertanyaan Terry di seberang ponselnya. ‘Cherryl naik Trans Jakarta aja, Mum’
‘Yaudah kalau begitu. Be careful, dear’
‘Yeah’ Lemas, tanpa minat Cherryl menutup flip ponselnya, lalu menatap halaman Katarina Academy of Dance yang basah karena tetesan hujan. Awan gelap, sesuai dengan suasana hatinya saat ini. Ia mendesah, lalu menatap dua buah payung ditangannya. Sebuah payung putih bermotif buah ceri, sebuah payung plastik polos biru. Cherryl menggeleng, membuka payung putih buah ceri-nya, lalu berjalan kearah halte Trans Jakarta. Ia membeli tiket, lalu segera menaiki bus yang pertama kali muncul.
Hawa bus agak dingin, untung Cherryl mengenakan sweater putih berkancing buah ceri kesayangannya. Ia menoleh kiri-kanan, mencari tempat duduk, namun tidak mungkin karena bus penuh sesak. He’s not here, Cherryl berkata sedih dalam hati. Ia menatap payung biru ditangannya, bermaksud meninggalkannya di tempat keranjang payung di bus. He don’t remember anyway.
Ponsel di tangannya bergetar, menandakan message. Cherryl tertawa kecil membaca message Olin yang begitu bersemangat menghiburnya, layarnya dipenuhi dengan emote lucu. Ia mengembalikan ponselnya kedalam tas, lalu menoleh sekali lagi kearah keranjang payung, untuk melihat payung yang tadi ditinggalkannya. Dada Cherryl mencelos ketika matanya tidak menemukan payung tersebut, lalu menoleh kiri-kanan, mencari. Speaker bus berbunyi, mereka tiba di daerah Menteng. Mata Cherryl nggak sengaja menatap sesosok perempuan membuka payung biru itu diluar, lalu segera berlari mengejarnya.
‘W-wait! Tunggu!’ Hujan masih begitu deras diluar, membasahi seragam dan rambut Cherryl. Hak sepatunya terpeleset jalanan yang licin, membuatnya hampir terjatuh. Cherryl memejamkan mata, namun lagi-lagi dirinya tetap berdiri. Cherryl tersentak, dejavú kembali melandanya, saat kedua tangan itu melingkari pinggangnya, membantunya berdiri.
Cherryl menahan nafasnya menatap kedua bola mata hitam itu lagi, melihat ransel birunya bergoyang dipunggung ketika ia berlari. Setetes air mata bercampur hujan menghiasi pipinya. Aku nggak bisa melupakannya.
Air mata Cherryl tambah deras ketika melihat sosoknya berjalan mendekat, lalu memayungi mereka berdua yang basah kuyup dengan payung biru ditangannya. Ia tersenyum. ‘Is this belong to me? Gue nggak percaya lo masih menyimpannya’
Suaranya berat, sedikit serak, tapi manis. Cherryl menatapnya nggak percaya. ‘Kamu ingat?’
‘Of course. Siapa yang bisa melupakan cewek dengan aksesoris seramai sepertimu? Buah ceri semua lagi. Namamu Cherry-kah? I’m sorry about yesterday at Jakarta City-Square. Gue nggak mengenalimu—by the way, the mascara looks great on you’
Cherryl mengusahakan senyum diantara tangisnya—sedikit blushing. ‘It’s Cherryl. Cherryl Sudrajat’
Cowok itu tersenyum. ‘Kenapa kita tidak berteduh di sana saja? Monday’s? Lo suka pizza? Gue Naufan—Naufan Aryasatya’
***
Sunday.
Aku nggak percaya dia masih mengingatku, juga kejadian tentang payung plastik biru kemarin di Parama Institute. Ternyata dia murid sekolah internasional St. Jude di Menteng. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Naufan ternyata putranya Pak Irfan, chemistry teacher-ku. What a coincidence!
Kita have fun banget tadi di Monday’s, ngobrol-ngobrol. Dia juga suka pizza cheese loaf sepertiku. Eh, kayaknya aku harus segera minta dana ke Mum deh, mau beli dress Pucci yang kulihat kemarin di Jak City-Square. Untuk apa? Well, just so you know, Naufan asked me to go to a movie tommorow. Tepat seminggu kita ketemu, juga tepat seminggu Naufan mengisi diary-ku.
P.S. Nama lengkapnya Naufan Biru Aryasatya. Tebakanku benar!
***
No comments:
Post a Comment